HEALTH IS NOT EVERYTHING, BUT EVERYTHING WITHOUT HEALTH IS NOTHING

Search

Sabtu, 21 Maret 2015

Saatnya Ratifikasi FCTC Demi Indonesia Sejahtera


Tembakau merupakan masalah global yang dihadapi oleh hampir semua negara di dunia. Pada tahun 2013, sedikitnya 6 juta orang meninggal dunia akibat penyakit terkait tembakau setiap tahunnya. Dan 190.260 diantaranya adalah orang Indonesia. Jumlah ini akan mencapai 10 juta pada tahun 2030 dimana 80% kematian terjadi di negara-negara miskin dan berkembang (Tobacco Atlas). Pada tahun 2009, Indonesia menghabiskan 260,8 milyar batang/tahun. Padahal 48% atau 115 juta orang Indonesia masuk kategori miskin. Tetapi kenapa masih banyak dari mereka mampu untuk membeli rokok?

Dalam rangka mengatasi epidemic tembakau, Sidang Majelis Kesehatan Dunia (WHO) ke-56 pada bulan Mei 2003 yang dihadiri 192 negara anggota WHO dengan suara bulat mengadopsi Kerangka Kerja Konvensi Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control). Sebagaimana tertulis dalam pembukaannya, tujuan FCTC adalah untuk melindungi generasi sekarang dan mendatang dari kerusakan kesehatan, sosial, lingkungan dan konsekuensi ekonomi dari konsumsi tembakau serta paparan terhadap asap tembakau.

Pada Maret 2015, Zimbabwe menjadi anggota FCTC yang ke-180. Hal ini mewakili hampir 95% populasi Negara di dunia. Ironinya lagi, Indonesia belum aksesi FCTC untuk melindungi warganya dari dampak tembakau ini. Konvensi ini menjadi hukum internasional pada tanggal 27 Februari 2005 setelah 40 negara meratifikasi. Dan sampai saat ini, Indonesia satu-satunya negara di Asia Pasifik yang belum menandatangani FCTC.

Apakah ini tentang rokok menguntungkan negara dengan adanya bea cukai dari rokok? Memang bea cukai sebesar 60 trilyun dihasilakan dari rokok (Kemenkeu, 2010), tetapi apakah itu sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan akibat rokok tersebut? Coba saja dihitung-hitung, jika orang Indonesia yang meninggal sebanyak 190.260 per tahun akibat rokok merupakan usia yang produktif otomatis akan ada pendapatan per kapita yang hilang sebesar 105,3 trilyun, biaya inap untuk penyakit akibat rokok bisa menghabiskan 1,85 trilyun, untuk rawat jalan sebesar 0,26 trilyun, dan uang masyarakat yang dihabiskan untuk membeli rokok tahun 2010 sebesar 138 trilyun. Jika di total berjumlah 254,41 trilyun. Jauh di atas bea cukai yang hanya 60 trilyun. Dan Indonesia jelas merugi. Bagaimana dengan petani tembakau? Pada tahun 2010 saja ekspor tembakau itu US$ 195,633. Tetapi Indonesia mengimpor tembakau sebesar US$ 378,710 dengan defisit US$ 183,077

Pangsa pasar rokok Indonesia di dominasi oleh 3 perusahaan besar. Bahkan 37% dikuasai oleh pihak asing. Orang terkaya nomor 1 dan 2 se-Indonesia pun adalah pemilik industri rokok. Jadi, penjualan rokok tidak menguntungkan para petani tembakau secara signifikan, melainkan masuk ke kantong para pengusaha perusahaan tersebut. Bahkan untuk pengusaha industri rokok hanya membeli tembakau Indonesia hanya ke yang memang sudah punya ‘nama’. Jika itu petani biasa, perusahaan industri rokok tidak akan mau membeli hasil tani tersebut.

Bagaimana dengan regulasi iklan rokok di Indonesia? Lagi-lagi kata ironis yang keluar untuk Indonesia. Peraturan iklan rokok yang belum dilarang di media televisi, ataupun baliho-baliho di pinggir jalan. Konten dari iklan rokok itu sendiri pun secara tersirat mengajak untuk merokok dengan model pria keren dan suka tantangan. Belum lagi kasus iklan rokok yang mengandung unsur pornografi yang terpampang di baliho semakin membuat miris. Dan kebanyakan sasaran yang sangat rentan terpengaruh rokok adalah umur remaja dari 12-19 tahun.

Inilah saatnya Pemerintah Indonesia harus segera mengaksesi FCTC, agar masyarakat Indonesia sejajar kedudukannya di dunia Internasional, serta melindungi generasi sekarang dan masa depan dari dampak buruk kesehatan, sosial, lingkungan dan ekonomi akibat konsumsi rokok dan paparan asap rokok orang lain.

Achmad Fauzan Maulana
Manajemen Pelayanan Kesehatan (MPK) 2013
Departemen Kemahasiswaan
HMPS Kesehatan Masyarakat 2015/2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar